Sabtu, 20 November 2010

Tugas Contoh Kasus Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Contoh kasus Tanggung jawab sosial perusahaan




Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.





Sumber :
- Harian Pikiran Rakyat, 22 April 2008 Oleh Edi Suharto.
- Penulis, analis kebijakan sosial dan konsultan CSR, Pembantu Ketua I Bidang Akademik STKS Bandung.

Tulisan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan



Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.
Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.
Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.
Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.
Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).

Sejarah singkat
Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.

CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.





Sumber :
- Harian Pikiran Rakyat, 22 April 2008 Oleh Edi Suharto.
- Penulis, analis kebijakan sosial dan konsultan CSR, Pembantu Ketua I Bidang Akademik STKS Bandung.

Tulisan Etika Bisnis bag.3

ETIKA BISNIS




DUNIA BISNIS
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh? Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang.
Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.
Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita.
Lebih parah lagi bila pengusaha Indonesia menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak pengikat itu.
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.





Sumber :
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara

Rabu, 10 November 2010

Tugas Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis

Contoh Pelanggaran Etika Bisnis




A. Contoh Pelanggaran dalam Praktek
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya. Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
B. Contoh Pelanggaran dalam Praktek
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang.
C. Contoh Pelanggaran dalam Praktek
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
D. Contoh Pelanggaran dalam Praktek
Sebuah perusahaan x akan mengikuti tender yang ditawarkan oleh pemerintah. Perusahaan tersebut sudah memenuhi seluruh persyaratan yang ada dalam terder tersebut. Selama menunggu tender di proses oleh panitia tender, pihak perusahaan x didatangi oleh “oknum pemerintah”, yang menyatakan bahwa perusahaan X akan jadi pemenang tender seandainya memberikan sejumlah prosentasi tertentu dari tender tersebut kepada panitia. Dalam hal ini pihak perusahaan X yang kemudian “terpaksa” memberikan sejumlah prosentase tertentu kepada panitia tender.





Sumber : Litbang LOS DIY

Tulisan Etika Bisnis bag.2

ETIKA BISNIS




Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara 3
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.





Sumber :
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara

Tulisan Etika Bisnis bag.1

ETIKA BISNIS




Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk mengenalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan.
Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal, perdagangan dunia yang lebih bebas dimasa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun ke arena baru yaitu pasar bebas dimasa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh penguasa kita.
Jika kita ingin mencapai target ditahun 2000, sudah saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi pada tahun 2000 an dapat diatasi.

MORAL DAN EKTIKA DALAM DUNIA BISNIS
a. Moral Dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadangkala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan ?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.




Sumber :
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara

Minggu, 10 Oktober 2010

Tugas Riset Pemasaran 2

Abhina Sakti D, 10207007, 4EA03.



KAJIAN KARAKTERISTIK PKL KAMPUS UNIVERSITAS GUNADARMA KAMPUS E KELAPA DUA


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997, taraf hidup masyarakat Indonesia pada umumnya semakin terpuruk. Hal ini tidak saja menyentuh masyarakat kurang mampu, bahkan para pengusaha dan pemilik modal usaha, sangat merasakan runtuhnya sistem perekonomian di Indonesia. Banyak pengusaha sektor industri yang terkena dampak krisis mengalami gulung tikar. Demi meyelamatkan modal dan kekayaan yang tersisa, mereka melakukan PHK masal. Pada akhirnya angka pengangguran semakin melonjak tajam. Permasalahan pengangguran yang terjadi sebelum krisis saja belum banyak diatasi, kini semakin signifikan jumlah pengangguran yang ada, karena hampir mencapai angka 50 juta orang. Ini berarti hampir 20% dari jumlah penduduk Indonesia atau hampir 30% dari jumlah penduduk usia produktif yang mencapai 160 juta orang (Warta Ekonomi, Maret 2003). Dan tahun ini berarti jumlahnya jauh lebih besar. Menurut BPS, sektor informal mampu menampung 70 % angkatan kerja dewasa ini sedangkan sektor formal hanya 30 % saja. (Kompas, April 2006).
Runtuhnya usaha di sektor formal, pada gilirannya memicu semakin berkembangnya usaha sektor informal (baca : PKL) yang semakin hari semakin menunjukkan keberadaannya sebagai usaha yang tahan uji dalam menghadapi badai krisis ekonomi yang berkepanjangan . Tampak nyata bahwa usaha PKL ibarat sebagai katup penyelamat ekonomi masyarakat kota (Rahbini, D, 1998).
Sebagai salah satu alternatif mempertahankan hidup dan memperbaiki keadaan, dengan modal yang pada umumnya tidak besar, PKL tumbuh secara sporadis, menempel di hampir seluruh kegiatan/pusat keramaian dan di tempat-tempat strategis. Salah satu dari kelompok PKL yang ada adalah kelompok PKL yang menempati lahan belakang kampus, persis menempel dipagar belakang UNS. Terlepas dari adanya polemik status tanah, dengan keberadaan mereka, tidak sedikit yang memperoleh manfaat, termasuk para mahasiswa UNS sendiri, meski tidak kurang juga masalah yang ditimbulkan.
Dengan kondisi dan latar belakang yang sangat beragam, deretan bangunan PKL kini telah penuh berdiri. Beragam jenis dagangan/pelayanan, desain, sifat bangunan dan luasannya, pola sebarannya, cara mereka memperoleh tanah, maupun perbedaan pendapatan juga modal kerja. Namun yang jelas keberadaan mereka dan PKL pada umumnya telah memberikan kontribusi kepada sector formal (baca:pemerintah) sehingga penggangguran sedikit banyak telah dapat berkurang disamping telah menolong ratusan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. PKL sebagai sebuah fenomena, pada kenyatannya bukan hanya milik masyarakat lapisan bawah. Dari sini kemudian muncul berbagai karakter dan klasifikasi PKL itu sendiri.



BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian PKL
Karena terbatasnya lahan pekerjaan di sektor formal, membuat masyarakat menjadikan sektor informal sebagai pilihan untuk memperoleh penghasilan. Salah satu lahan di sektor informal tersebut adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL).
 Keberadaan para PKL awalnya hanya sedikit dan hanya berjualan dimalam hari, dan barang dagangan yang dijual tidak selengkap sekarang. Pada waktu itu barang dagangan yang dijual hanya barang-barang kebutuhan para mahasiswa, sehingga secara tidak langsung antara para mahasiswa dengan PKL mempunyai hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
 Lokasi pertama yang paling diminati para PKL adalah lokasi sekitar gerbang/pintu masuk kampus, karena merupakan tempat arus sirkulasi masuk keluar para mahasiswa sehingga selain mudah dijangkau karena selalu dilewati, juga dianggap paling strategis dan bersih dibanding tempat yang lain. Adapun sarana yang digunakan oleh para PKL pada awalnya hanya warung tenda. Kalau dibutuhkan , warung dapat dibuka maupun ditutup setiap saat, karena dapat digulung dan dikemas dalam gerobak yang kemudian dititipkan kepada masyaratak terdekat
 Setelah berjalan beberapa tahun, seiring dengan mulai bergulirnya reformasi yang menyusul badai krisis moneter, jumlah PKL semakin bertambah banyak yaitu sekitar tahun 1996 akhir. Kondisi merekapun sudah mulai berkembang. PKL mulai berani mambangun warung semi permanent. Bentuk warungpun bervariasi sesuai dengan kemampuan modal masing-masing PKL. Bahan dinding terbuat dari bamboo atau papan sedangkan atap pada umumnya menggunakan bahan seng. Demikian juga dengan luasan warungnya, disesuaikan dengan kebutuhan dan komoditi yang mereka jual. Dengan kondisi seperti itu tidak jarang warung dimanfaatkan sekaligus untuk hunian.
 Dari banyaknya PKL dengan komoditas yang bermacam-macam tidak semuanya berjalan lancar, ada beberapa yang kemudian menutup usahanya karena tidak berjalan seperti yang diharapkan. Parahnya lagi ketika mereka yang sudah tidak dapat meneruskan usahanya mereka tidak mau membongkar kiosnya. Dengan begitu mereka akan tetap merasa memiliki kapling yang setiap saat dapat dipakai atau dipindahtangankan ketika ada yang berminat untuk membeli atau menyewanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan kios menjadi berantai dan bahkan tidak jelas.
 Saat ini kondisi pedagang kaki lima di belakang kampus ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Secara fisik kondisi mereka sudah berubah kearah yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka telah banyak yang memiliki kios yang bersifat permanent, yaitu berdinding bata plester dan beratap genteng. Bahkan banyak diantaranya yang menggunakan pintu rolling atau folding (pintu gulung dan pintu lipat) yang harganya cukup mahal. Jenis usahanyapun sangat beragam. Tidak hanya warung makan ataupun toko kelontong kebutuhan seharai-hari namun juga terdapat usaha rental, bengkel motor maupun mobil, foto copy, took sellular, baju olah raga, buku dan bahkan salon serta toko kaca mata (optic). Berbagai fasilitas seperti listrik dan air PAM juga dapat mereka peroleh.
 Pada tahap selanjutnya perkembangan PKL semakin menjadi-jadi ketika program pemagaran kampus secara menyeluruh dalam desain wujud fisik dinding tembok yang rapat. Dengan telah adanya dinding pagar, PKL semakin berani membangun kiosnya secara permanen. Disamping telah hilang salah satu keengganan (pekewuh) karena dulu sebelum dipagar, kondisi mereka terlihat langsung dari arah kampus.
 Secara keseluruhan pertumbuhan antara satu PKL dengan PKL yang lain mempunyai karakter yang berbeda-beda demikian juga dengan modal dan latar belakangnya. Dari sini akhirnya tumbuh PKL dengan jenis dagangan yang sangat variatif dan persebaran yang sangat bebas. Sehingga sampai sekarangpun belum ada pengelompokan komoditi dari para PKL sendiri.

2.2 Kajian Sosial Ekonomi
 Kegiatan sektor informal khususnya PKL muncul karena adanya suatu kegiatan fungsional/kegiatan utama/kegiatan formal pada suatu ruang kota dalam skala lingkungan, kawasan maupun skala kota atau sebaliknya. Keberadaan kedua fungsi tersebut (kegiatan formal dan informal) merupakan hasil terjadinya hubungan sebab dan akibat yang menempati suatu ruang atau kawasan untuk mendapatkan peluang hidup bagi pelaku kegiatannya.
Awal tumbuhnya para pedagang kaki lima di kampus E gunadarma mungkin saja memiliki alasan yang sama dengan tumbuhnya PKL di lain tempat. Namun mungkin juga mereka mempunyai alasan yang berbeda. Latar belakang itu antara lain karena suatu lokasi dalam keadaaan kosong, entah karena tidak ada yang memiliki atau karena pemiliknya belum akan mendirikan bangunan diatasnya. Bisa juga karena adanya fasilitas yang terbengkalai karena tidak ada yang merawat atau karena suatu fasilitas tidak nyaman untuk dimanfaatkan, sehingga akhirnya muncul di tempat tempat tersebut para PKL yang notabene mereka ‘hanya’ memanfaatkan lahan/fasilitas kosong yang tidak difungsikan tersebut.
Berikut alasan yang menjadi latar belakang seseorang akhirnya memilih menjadi PKL di kampus E gunadarma kelapa dua:
1. Latar Belakang menjadi PKL
Secara garis besar latar belakang yang menyebabkan masyarakat memilih menjadi PKL antara lain adalah :
a. tidak tersedianya lapangan pekerjaan di sector formal , sehingga masyarakat mencoba mengadu nasib dengan menjadi PKL
b. mereka yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja yang menyusul munculnya badai krisis moneter
c. kampus sebagai sebuah magnet bagi berkembangnya usaha PKL
d. terbengkalainya trotoar di belakang kampus karena tidak dimanfaatkan oleh para pejalan kaki
e. adanya peluang yang diberikan pihak kampus dengan tidak dilarangnya kemunculan PKL di belakang kampus
f. para pemilik modal yang berusaha (spekulasi) berinvestasi dengan jalan membuka usaha PKL
2. Status Keberadaan Kios PKL
Secara umum status kios PKL yang menempel dipagar belakang kampus adalah :
a. milik sendiri
yang dimaksud disini , kios dibangun sendiri oleh PKL setelah mereka memperoleh lahan baik melalui cara membeli entah dari siapa maupun dengan cara mengkapling sendiri lahan tersebut. Terdapat kemungkinan PKL tersebut membeli kios (bukan lahan) dari pemilik kios terdahulu.
b. menyewa (kontrak)
adakalanya setelah merasa memiliki lahan dan membangun kios diatasnya, seorang PKL enggan untuk menempati sendiri ataupun adanya kemungkinan spekulasi akan hasil yang diperoleh akan lebih besar ketika kios tersebut disewakan daripada bila ditempati sendiri. Hal ini juga kemungkinan muncul karena adanya kebutuhan sewa/kontrak bagi sebagian PKL yang merasa enggan untuk membangun sendiri kios PKL disitu.
3. Jenis Usaha
Sesuai dengan kondisi kegiatan utama yang ditempelinya, jenis usaha/dagangan yang disajikan oleh para PKL notabene adalah kebutuhan bagi para mahasiswa. Baik dari kebutuhan utama sampai kepada kebutuhan tersier. Adapun jenis usaha/dagangan yang disajikan para PKL mulai dari PKL yang berada paling barat sampai timur adalah warung makan dan minum, toko kelontong/kebutuhan sehari-hari, jasa foto copy, jasa rental, jasa reparasi/tambal ban, jasa menjahit, jasa afdruk/cuci cetak foto, toko sellular dan agen koran dan lain-lain.

2.3 Kajian Fisik
Selain kondisi sosial ekonomi, berikut kondisi fisik dari para PKL di kampus E gunadarma kelapa dua.
1. Sifat Bangunan
Sejalan dengan perkembangan waktu, selain jenis dagangan PKL yang semakin beragam, sifat bangunannyapun semakin mengalami kemajuan. Tidak saja kios PKL bersifat semi permanen namun juga kios permanen dengan kondisi yang tergolong sangat baik. Hampir 41% dari keseluruhan jumlah PKL di deretan ini mempunyai sifat permanen. Bahan bangunan yang dipakai adalah dinding permanen batu bata, atap genteng dan lantai keramik bahkan pintu rolling (rolling door). Sementara bangunan yang bersifat semi permanen berjumlah sekitar 54% dengan bahan bangunan yang dipakai adalah papan atau anyaman bambu untuk dinding, atap asbes dan lantai plester. Dan sisanya sekitar 5% adalah bangunan temporer/rusak, yang saat ini sudah tidak dipergunakan lagi karena pemiliknya merasa tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan disekitarnya.
2. Pola Persebaran
Selain harus menyesuaikan diri dengan posisi PKL sebelumnya, terkadang kemunculan PKL baru sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan alasan untuk memperoleh posisi yang strategis dengan tujuan mudah dicapai oleh pembeli. Lokasi yang dipilih berdasarkan asumsi masing-masing PKL, sehingga pada akhirnya pola sebaran PKLpun tidak teratur. Maksudnya pola sebaran yang ada tidak memiliki aturan-aturan tertentu. Apakah berdasarkan jenis dagangan, urutan kedatangan ataukah aturan-aturan yang lain.
3. Kondisi Utilitas
Kondisi utilitas yang berkaitan langsung dengan PKL adalah
a. Air Bersih, sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan, air menjadi salah satu kebutuhan primer bagi PKL terutama bagi PKL yang menjual makanan dan minuman. Selain untuk kepentingan itu air juga setiap saat dibutuhkan bila dalam keadaan darurat yaitu bila terjadi bahaya kebakaran. Selama ini para PKL memenuhi kebutuhan air bersih dari masjid Nurul Huda. Yang dibutuhkan para PKL adalah kran-kran air bersih dan kran pemadam kebakaran.
b. Sanitasi/Toilet, dibutuhkan karena para PKL melakukan kegiatannya dalam waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih 10 jam bahkan PKL makanan dan minuman hampir selalu berkegiatan 24 jam. Sehingga kegiatan MCK dapat terpenuhi disini. Kebuthan ini dapat dijadikan satu dengan keberadaan air bersih/kran air
c. Saluran Pembuangan, PKL dengan jenis usaha makanan dan minuman sangat membutuhkan jaringan ini. Dengan kegiatan utama memasak, PKL disini belum memiliki saluran pembunagn khusus sehingga sering tercium bau kurang sedap di lingkungan terdekatnya. Yang dibutuhka pada sebgain besar PKL, yaitu yang berjenis usaha makanan dan minuman adalah saluran pembuangan ke roil kota (drainase)
d. Jaringan listrik, meskipun kegiatan PKL tergolong kegiatan yang belum legal, kebutuhan akan penerangan telah dipenuhi dengan dipasangnya jaringan listrik sesuai permintaan masing-masing PKL yang menghendaki.
e. Tempat sampah, meskipun tidak diseragamkan, kebutuhan tempat sampah pada masing-masing PKL telah ada. Namun belum ada penyesuaian antara tempat sampah dan jenis sampah yang ada. Seperti sampah padat yang tidak berbau (sampah non organic) membutuhkan tempat sampah yang ringan dan tertutup. Sedangkan sampah padat berbau (sampah organic) membutuhkan tempat sampah yang aman dan tertutup secara rapat. Dan jenis sampah ketiga adalah sampah cair baik organik maupun non organik dapat dibuang ke saluran pembuangan tertutup.



BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 Objek Penelitian
 Metode penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan penelitian di kawasan pedagang kaki lima yang berada di kampus E gunadarma kelapa dua.

3.2 Data atau Variabel
 Pengolahan data dilakukan dengan mengelompokkan data dan memberikan penjelasan secara diskriptif dan informative dari data-data yang diperoleh tersebut. variable yang ingin diketahui dan dilengkapi dengan sketsa serta dokumentasi.

3.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian diskriptif ini dilakukan dengan jalan menggambarkan kondisi dari para PKL dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, melalui tahap-tahap :
a. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan wawancara untuk mengisi berbagai variable yang ingin diketahui dan dilengkapi dengan sketsa serta dokumentasi
b. Tahap pelaporan merupakan tahap penyusunan laporan yang memakai metode diskriptif kualitatif

3.4 Alat Analisis Yang Digunakan
Alat analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
a. Analisis deskriptif kualitatif.




BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1       Sejarah Perkembangan PKL
            Karena terbatasnya lahan pekerjaan di sector formal, membuat masyarakat menjadikan sector informal sebagai pilihan untuk memperoleh penghasilan. Salah satu lahan di sector informal tersebut adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL). Berkembangnya PKL di belakang kampus UNS berawal  sejak tahun 1990an. Dengan keberadaan trotoar yang diperuntukkan bagi para pengguna jalan khususnya para mahasiswa, ternyata fasilitas tersebut tidak dimanfatkan secara maksimal. Entah karena alasan trotoar yang ada kurang nyaman ataupun alasan yang lain, trotoar yang sudah dibatasi dengan pagar besi pada sisi dalamnya yang berhubugan dengan lahan kampus, akhirnya pelan-pelan dilirik oleh para pelaku untuk mencoba berjualan,meski sudah ada larangan menggunakan trotoar untuk para PKL (Perda PKL, 1995) ).  
            Keberadaan para PKL awalnya hanya sedikit dan hanya  berjualan dimalam hari, dan barang dagangan yang dijual tidak selengkap sekarang. Pada waktu itu barang dagangan yang dijual hanya barang-barang kebutuhan para mahasiswa, sehingga secara tidak langsung antara para mahasiswa dengan PKL memounyai hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
            Lokasi pertama yang paling diminati para PKL adalah lokasi sekitar gerbang/pintu masuk kampus, karena merupakan tempat arus sirkulasi masuk keluar para mahasiswa sehingga selain mudah dijangkau karena selalu dilewati, juga dianggap paling strategis dan bersih dibanding tempat yang lain.  Adapun sarana  yang digunakan oleh para PKL pada awalnya hanya warung tenda. Kalau dibutuhkan , warung dapat dibuka maupun ditutup setiap saat, karena dapat digulung dan dikemas dalam gerobak yang kemudian dititipkan kepada masyaratak terdekat
            Dengan adanya beberapa PKL sebagai embrio deretan PKL di lahan trotoar, dan tidak adanya tindakan kepada mereka, pada tahap selanjutnya mulai bermunculan PKL-PKL baru yang semakin manambah panjang daftar PKL disini. Dengan kondisi dan status yang sama-sama tidak jelas, mereka mulai saling memperebutkan lahan. Mereka merasa dapat  memiliki lahan hanya dengan mematok lahan yang sekiranya belum bertuan. Bahkan hanya dengan bermodalkan  seutas tali raffia mereka dapat merasa memiliki “kapling”.
            Setelah berjalan beberapa tahun, seiring dengan mulai bergulirnya reformasi yang menyusul badai krisis moneter, jumlah PKL semakin bertambah banyak yaitu sekitar tahun 1996 akhir. Kondisi merekapun sudah mulai berkembang. PKL mulai berani mambangun warung semi permanent. Bentuk warungpun bervariasi sesuai dengan kemampuan modal masing-masing PKL. Bahan dinding terbuat dari bambu atau papan sedangkan atap pada umumnya menggunakan bahan seng. Demikian juga dengan luasan warungnya, disesuaikan dengan kebutuhan dan komoditi yang mereka jual. Dengan kondisi seperti itu tidak jarang warung dimanfaatkan sekaligus untuk hunian.
            Dari banyaknya PKL dengan komoditas yang bermacam-macam tidak semuanya berjalan lancar, ada beberapa yang kemudian menutup usahanya karena tidak berjalan seperti yang diharapkan. Parahnya lagi ketika mereka yang sudah tidak dapat meneruskan usahanya mereka tidak mau membongkar kiosnya. Dengan begitu mereka akan tetap merasa memiliki kapling yang setiap saat dapat dipakai atau dipindahtangankan ketika ada yang berminat untuk membeli atau menyewanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan kios menjadi berantai dan bahkan tidak jelas.   
          Saat ini kondisi pedagang kaki lima di belakang kampus ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Secara fisik kondisi mereka sudah berubah kearah yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka telah banyak yang memiliki kios yang bersifat permanent, yaitu berdinding bata plester dan beratap genteng. Bahkan banyak diantaranya yang menggunakan pintu rolling atau folding (pintu gulung dan pintu lipat) yang harganya cukup mahal. Jenis usahanyapun sangat beragam. Tidak hanya warung makan ataupun toko kelontong kebutuhan seharai-hari namun juga terdapat usaha rental, bengkel motor maupun mobil, foto copy, took sellular, baju olah raga, buku dan bahkan salon serta toko kaca mata (optic). Berbagai fasilitas seperti listrik dan air PAM juga dapat mereka peroleh.
            Pada tahap selanjutnya perkembangan PKL semakin menjadi-jadi ketika program pemagaran kampus secara menyeluruh dalam desain wujud fisik dinding tembok yang rapat. Dengan telah adanya dinding pagar, PKL semakin berani membangun kiosnya secara permanen. Disamping telah hilang salah satu keengganan (pekewuh) karena dulu sebelum dipagar, kondisi mereka terlihat langsung dari arah kampus.
           Secara keseluruhan pertumbuhan antara satu PKL dengan PKL yang lain mempunyai karakter yang berbeda-beda demikian juga dengan modal dan latar belakangnya. Dari sini akhirnya tumbuh PKL dengan jenis dagangan yang sangat variatif dan persebaran yang sangat bebas. Sehingga sampai sekarangpun belum ada pengelompokan komoditi dari para PKL sendiri.

4.2       Kajian Sosial Ekonomi
            Kegiatan sector informal khususnya PKL muncul karena adanya suatu kegiatan fungsional/kegiatan utama/kegiatan formal pada suatu ruang kota dalam skala lingkungan, kawasan maupun skala kota atau sebaliknya. Keberadaan kedua fungsi tersebut (kegiatan formal dan informal) merupakan hasil terjadinya hubungan sebab dan akibat yang menempati suatu ruang atau kawasan untuk mendapatkan peluang hidup bagi pelaku kegiatannya.
            Awal tumbuhnya para pedagang kaki lima di belakang kampus UNS mungkin saja memiliki alasan yang sama dengan tumbuhnya PKL di lain tempat. Namun mungkin juga  mereka mempunyai alasan yang berbeda. Latar belakang itu antara lain karena suatu lokasi dalam keadaaan kosong, entah karena tidak ada yang memiliki atau karena pemiliknya belum akan mendirikan bangunan diatasnya. Bisa juga karena adanya fasilitas yang terbengkalai karena tidak ada yang merawat atau  karena suatu fasilitas tidak nyaman untuk dimanfaatkan, sehingga akhirnya muncul di tempat-tempat tersebut para PKL yang notabene mereka ‘hanya’ memanfaatkan lahan/fasilitas  kosong yang tidak difungsikan tersebut.       
         Berikut alasan yang menjadi latar belakang seseorang akhirnya memilih menjadi PKL di belakang kampus UNS. 
1.                  Latar Belakang menjadi PKL
            Secara garis besar latar belakang yang menyebabkan masyarakat memilih menjadi PKL antara lain adalah :
a.         tidak tersedianya lapangan pekerjaan di sector formal , sehingga masyarakat mencoba mengadu nasib dengan menjadi PKL
b.         mereka yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja yang menyusul munculnya badai krisis moneter
c.         kampus sebagai sebuah magnet bagi berkembangnya usaha PKL
d.        terbengkalainya  trotoar di belakang kampus karena tidak dimanfaatkan oleh para pejalan kaki
e.         adanya peluang yang diberikan pihak kampus dengan tidak dilarangnya kemunculan PKL di belakang kampus
f.          para pemilik modal yang berusaha (spekulasi) berinvestasi dengan jalan membuka usaha PKL
2.                  Status Keberadaan Kios PKL
            Secara umum status kios PKL yang menempel dipagar belakang kampus adalah :
a.         milik sendiri
     yang dimaksud disini , kios dibangun sendiri oleh PKL setelah mereka memperoleh lahan baik melalui cara membeli entah dari siapa maupun dengan cara mengkapling sendiri lahan tersebut. Terdapat kemungkinan PKL tersebut membeli kios (bukan lahan) dari pemilik kios terdahulu.
b.        menyewa (kontrak)
     adakalanya setelah merasa memiliki lahan dan membangun kios diatasnya, seorang PKL enggan untuk menempati sendiri ataupun adanya kemungkinan spekulasi akan hasil yang diperoleh akan lebih besar ketika kios tersebut disewakan daripada bila ditempati sendiri. Hal ini juga kemungkinan muncul karena adanya kebutuhan sewa/kontrak bagi sebagian PKL yang merasa enggan untuk membangun sendiri kios PKL disitu.
3.                  Jenis Usaha
            Sesuai dengan kondisi kegiatan utama yang ditempelinya, jenis usaha/dagangan yang disajikan oleh para PKL notabene adalah kebutuhan bagi para mahasiswa. Baik dari kebutuhan utama sampai kepada kebutuhan tersier. Adapun jenis usaha/dagangan yang disajikan para PKL mulai dari PKL yang berada paling barat sampai timur adalah warung makan dan minum, toko kelontong/kebutuhan sehari-hari, jasa foto copy, jasa rental, jasa reparasi/tambal ban, jasa menjahit, jasa afdruk/cuci cetak foto, toko sellular dan agen koran dan lain-lain.

4.3         Kajian Fisik     
Selain kondisi social ekonomi, berikut kondisi fisik dari para PKL  di pagar belakang kampus.                                                                                                                            
1.    Posisi PKL
     Secara keseluruhan PKL menempati lahan trotoar /pedestrian belakang kampus.  Oleh para PKL, trotoar dianggap tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan kondisi trotoar yang memang tidak layak bagi pejalan kaki. Yaitu tidak adanya prasarana pendukung pedestrian seperti pohon peneduh, lampu penerangan dan batas pembeda dengan jalan raya. Dengan mengambil posisi yang strategis yaitu dimulai dengan yang dekat pintu utama masuk kampus, para PKL menempatkan diri menyesuaikan posisinya dengan kios PKL yang ada sebelumnya. (lihat gambar PKL).
2.    Sifat Bangunan
     Sejalan dengan perkembangan waktu, selain jenis dagangan PKL yang semakin beragam, sifat bangunannyapun semakin mengalami kemajuan. Tidak saja kios PKL bersifat semi permanen namun juga kios permanen dengan kondisi yang tergolong sangat baik. Hampir 41% dari keseluruhan jumlah PKL di deretan ini mempunyai sifat permanen. Bahan bangunan yang dipakai adalah dinding permanen batu bata, atap genteng dan lantai keramik bahkan pintu rolling (rolling door). Sementara bangunan yang bersifat semi permanen berjumlah sekitar 54% dengan bahan bangunan yang dipakai adalah papan atau anyaman bambu untuk dinding, atap asbes dan lantai plester. Dan sisanya sekitar 5% adalah bangunan temporer/rusak, yang saat ini sudah tidak dipergunakan lagi karena pemiliknya merasa tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan disekitarnya.
3.    Pola Persebaran
Selain harus menyesuaikan diri dengan posisi PKL sebelumnya, terkadang kemunculan PKL baru sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan alasan untuk memperoleh posisi yang strategis dengan tujuan mudah dicapai oleh pembeli. Lokasi yang dipilih berdasarkan asumsi masing-masing PKL, sehingga pada akhirnya pola sebaran PKLpun tidak teratur. Maksudnya pola sebaran yang ada tidak memiliki aturan-aturan tertentu. Apakah berdasarkan jenis dagangan, urutan kedatangan ataukah aturan-aturan yang lain.
Jika diamati secara teliti kondisi PKL di sebellah timur gerbang semakin ke timur semakin tidak jelas jenis usahanya. Hanya sedikit yang tetap bertahan dengan jenis usahanya semula.
4.    Luasan PKL
Lebar masing-masing PKL hampir seragam yaitu sekitar 3 m sesuai dengan lebar trotoar yang ada. Sedangkan panjangnya bervariasi sesuai dengan besaran yang diinginkan pemilik awal serta sesuai kebutuhan jenis dagangan. Panjang yang sekarang ada berkisar antara 3 m sampai dengan 9 m.
5.    Kondisi Utilitas
Kondisi utilitas yang berkaitan langsung dengan PKL adalah
a.    Air Bersih, sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan, air menjadi salah satu kebutuhan primer bagi PKL terutama bagi PKL yang menjual makanan dan minuman. Selain untuk kepentingan itu air juga setiap saat dibutuhkan bila dalam keadaan darurat yaitu bila terjadi bahaya kebakaran. Selama ini para PKL memenuhi kebutuhan air bersih dari masjid Nurul Huda. Yang dibutuhkan para PKL adalah kran-kran air bersih dan  kran pemadam kebakaran.
b.    Sanitasi/Toilet, dibutuhkan karena para PKL melakukan kegiatannya dalam waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih 10 jam bahkan PKL makanan dan minuman hamper selalu berkegiatan 24 jam. Sehingga kegiatan MCK dapat terpenuhi disini. Kebuthan ini dapat dijadikan satu dengan keberadaan air bersih/kran air
c.    Saluran Pembuangan, PKL dengan jenis usaha makanan dan minuman sangat membutuhkan jaringan ini. Dengan kegiatan utama memasak, PKL disini belum memiliki saluran pembunagn khusus sehingga sering tercium bau kurang sedap di lingkungan terdekatnya. Yang dibutuhka pada sebgain besar PKL, yaitu yang berjenis usaha makanan dan minuman adalah saluran pembuangan ke roil kota (drainase)
d.   Jaringan listrik, meskipun kegiatan PKL tergolong kegiatan yang belum legal, kebutuhan akan penerangan telah dipenuhi dengan dipasangnya jaringan listrik sesuai permintaan masing-masing PKL yang menghendaki.
e.    Tempat sampah, meskipun tidak diseragamkan, kebutuhan tempat sampah pada masing-masing PKL telah ada. Namun belum ada penyesuaian antara tempat sampah dan jenis sampah yang ada. Seperti sampah padat yang tidak berbau (sampah non organic) membutuhkan tempat sampah yang ringan dan tertutup. Sedangkan sampah padat berbau (sampah organic) membutuhkan tempat sampah yang aman dan tertutup secara rapat. Dan jenis sampah ketiga adalah sampah cair baik organic maupun non organic dapat dibuang ke saluran pembuangan tertutup.



BAB V
KESIMPULAN


            Kondisi deretan PKL belakang kampus saat ini sudah menyerupai kawasan perdagangan retail. Meski telah memberi pengaruh dan masalah pada tata ruang yang cukup dominan, namun dengan terbentuknya simbiosis mutulisme antara PKL dengan mahasiswa dan juga pemilik lahan, perlu ada kesepakatan dalam hal-hal sebagai berikut :
a.       kejelasan status tanah baik bagi PKL dan Pemda
b.      perlu adanya regulasi yang mengatur antara hak dan kewajiban antara pihak yang terkait
c.       perlu diberikan prasarana pendukung kegiatan PKL seperti kelengkapan jaringan utilitas
d.      perlu disepakatinya desain  Bangunan PKL secara seragam agar tidak mengganggu kepentingan masing-masing pihak serta usaha pengendaliannya
   
Adapun strategi pembangunan sector informal dititikberatkan pada (Tim Swakelola,1992) :
·           Bina Usaha Manusia , memberikan latihan ketrampilan berusaha dan memberikan penyuluhan/penataran tentang kewiraswastaan dan kebijaksanaan pemerintah yang berlaku
·    Bina Sarana dan Prasarana, dengan menyediakan lokasi-lokasi penampungan yang permanen, meningkatkan penyediaan sarana dan prasarasana, memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses perijinan
·           Bina Permodalan, dengan meningkatkan kemampuan manajemen dan administrasi dan meningkatkan kemampuan permodalan dengan menyediakan berbagai macam fasilitas kredit
·    Bina Produksi, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, meningkatkan penggunaan teknologi tepat guna dan ilmu pengetahuan baru
·    Bina Pemasaran, dengan  memberikan pengetahuan tentang managemen pemasaran, memperluas kesempatan berpromosi dan pemasaran, memberikan informasi pasar
·           Bina Organisasi, dengan mengupayakan terbentuknya organisasi yang mampu mewadahi kegiatan/usaha seperti koperasi, paguyuban dan sebagainya.
·           Bina Lingkungan, dengan melaksanakan program berseri, membina lingkungan kerja, memberikan rasa aman, tenang dan tenteram dalam berusaha





DAFTAR PUSTAKA


-            Tim Swakelola, 1992, Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Penunjang Kegiatan Sektor Informal, Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah

-          Nurhidayati,A, 2003, Karakeristik PKL Utara Kampus UNS, Jurusan Arsitektur

-          Rahbini, D, 1998, Ekonomi Informal Perkotaan, LP3ES, Jakarta.

-          ….............................., Warta Ekonomi, Maret 2003,

-          Hartati Samhadi, Dilema Sektor Informal, Kompas, Jakarta 15 April 2006

-          Perda Kota Surakarta No. 8 tentang PKL 1995