Minggu, 10 Oktober 2010

Tugas Riset Pemasaran 2

Abhina Sakti D, 10207007, 4EA03.



KAJIAN KARAKTERISTIK PKL KAMPUS UNIVERSITAS GUNADARMA KAMPUS E KELAPA DUA


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997, taraf hidup masyarakat Indonesia pada umumnya semakin terpuruk. Hal ini tidak saja menyentuh masyarakat kurang mampu, bahkan para pengusaha dan pemilik modal usaha, sangat merasakan runtuhnya sistem perekonomian di Indonesia. Banyak pengusaha sektor industri yang terkena dampak krisis mengalami gulung tikar. Demi meyelamatkan modal dan kekayaan yang tersisa, mereka melakukan PHK masal. Pada akhirnya angka pengangguran semakin melonjak tajam. Permasalahan pengangguran yang terjadi sebelum krisis saja belum banyak diatasi, kini semakin signifikan jumlah pengangguran yang ada, karena hampir mencapai angka 50 juta orang. Ini berarti hampir 20% dari jumlah penduduk Indonesia atau hampir 30% dari jumlah penduduk usia produktif yang mencapai 160 juta orang (Warta Ekonomi, Maret 2003). Dan tahun ini berarti jumlahnya jauh lebih besar. Menurut BPS, sektor informal mampu menampung 70 % angkatan kerja dewasa ini sedangkan sektor formal hanya 30 % saja. (Kompas, April 2006).
Runtuhnya usaha di sektor formal, pada gilirannya memicu semakin berkembangnya usaha sektor informal (baca : PKL) yang semakin hari semakin menunjukkan keberadaannya sebagai usaha yang tahan uji dalam menghadapi badai krisis ekonomi yang berkepanjangan . Tampak nyata bahwa usaha PKL ibarat sebagai katup penyelamat ekonomi masyarakat kota (Rahbini, D, 1998).
Sebagai salah satu alternatif mempertahankan hidup dan memperbaiki keadaan, dengan modal yang pada umumnya tidak besar, PKL tumbuh secara sporadis, menempel di hampir seluruh kegiatan/pusat keramaian dan di tempat-tempat strategis. Salah satu dari kelompok PKL yang ada adalah kelompok PKL yang menempati lahan belakang kampus, persis menempel dipagar belakang UNS. Terlepas dari adanya polemik status tanah, dengan keberadaan mereka, tidak sedikit yang memperoleh manfaat, termasuk para mahasiswa UNS sendiri, meski tidak kurang juga masalah yang ditimbulkan.
Dengan kondisi dan latar belakang yang sangat beragam, deretan bangunan PKL kini telah penuh berdiri. Beragam jenis dagangan/pelayanan, desain, sifat bangunan dan luasannya, pola sebarannya, cara mereka memperoleh tanah, maupun perbedaan pendapatan juga modal kerja. Namun yang jelas keberadaan mereka dan PKL pada umumnya telah memberikan kontribusi kepada sector formal (baca:pemerintah) sehingga penggangguran sedikit banyak telah dapat berkurang disamping telah menolong ratusan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. PKL sebagai sebuah fenomena, pada kenyatannya bukan hanya milik masyarakat lapisan bawah. Dari sini kemudian muncul berbagai karakter dan klasifikasi PKL itu sendiri.



BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian PKL
Karena terbatasnya lahan pekerjaan di sektor formal, membuat masyarakat menjadikan sektor informal sebagai pilihan untuk memperoleh penghasilan. Salah satu lahan di sektor informal tersebut adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL).
 Keberadaan para PKL awalnya hanya sedikit dan hanya berjualan dimalam hari, dan barang dagangan yang dijual tidak selengkap sekarang. Pada waktu itu barang dagangan yang dijual hanya barang-barang kebutuhan para mahasiswa, sehingga secara tidak langsung antara para mahasiswa dengan PKL mempunyai hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
 Lokasi pertama yang paling diminati para PKL adalah lokasi sekitar gerbang/pintu masuk kampus, karena merupakan tempat arus sirkulasi masuk keluar para mahasiswa sehingga selain mudah dijangkau karena selalu dilewati, juga dianggap paling strategis dan bersih dibanding tempat yang lain. Adapun sarana yang digunakan oleh para PKL pada awalnya hanya warung tenda. Kalau dibutuhkan , warung dapat dibuka maupun ditutup setiap saat, karena dapat digulung dan dikemas dalam gerobak yang kemudian dititipkan kepada masyaratak terdekat
 Setelah berjalan beberapa tahun, seiring dengan mulai bergulirnya reformasi yang menyusul badai krisis moneter, jumlah PKL semakin bertambah banyak yaitu sekitar tahun 1996 akhir. Kondisi merekapun sudah mulai berkembang. PKL mulai berani mambangun warung semi permanent. Bentuk warungpun bervariasi sesuai dengan kemampuan modal masing-masing PKL. Bahan dinding terbuat dari bamboo atau papan sedangkan atap pada umumnya menggunakan bahan seng. Demikian juga dengan luasan warungnya, disesuaikan dengan kebutuhan dan komoditi yang mereka jual. Dengan kondisi seperti itu tidak jarang warung dimanfaatkan sekaligus untuk hunian.
 Dari banyaknya PKL dengan komoditas yang bermacam-macam tidak semuanya berjalan lancar, ada beberapa yang kemudian menutup usahanya karena tidak berjalan seperti yang diharapkan. Parahnya lagi ketika mereka yang sudah tidak dapat meneruskan usahanya mereka tidak mau membongkar kiosnya. Dengan begitu mereka akan tetap merasa memiliki kapling yang setiap saat dapat dipakai atau dipindahtangankan ketika ada yang berminat untuk membeli atau menyewanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan kios menjadi berantai dan bahkan tidak jelas.
 Saat ini kondisi pedagang kaki lima di belakang kampus ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Secara fisik kondisi mereka sudah berubah kearah yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka telah banyak yang memiliki kios yang bersifat permanent, yaitu berdinding bata plester dan beratap genteng. Bahkan banyak diantaranya yang menggunakan pintu rolling atau folding (pintu gulung dan pintu lipat) yang harganya cukup mahal. Jenis usahanyapun sangat beragam. Tidak hanya warung makan ataupun toko kelontong kebutuhan seharai-hari namun juga terdapat usaha rental, bengkel motor maupun mobil, foto copy, took sellular, baju olah raga, buku dan bahkan salon serta toko kaca mata (optic). Berbagai fasilitas seperti listrik dan air PAM juga dapat mereka peroleh.
 Pada tahap selanjutnya perkembangan PKL semakin menjadi-jadi ketika program pemagaran kampus secara menyeluruh dalam desain wujud fisik dinding tembok yang rapat. Dengan telah adanya dinding pagar, PKL semakin berani membangun kiosnya secara permanen. Disamping telah hilang salah satu keengganan (pekewuh) karena dulu sebelum dipagar, kondisi mereka terlihat langsung dari arah kampus.
 Secara keseluruhan pertumbuhan antara satu PKL dengan PKL yang lain mempunyai karakter yang berbeda-beda demikian juga dengan modal dan latar belakangnya. Dari sini akhirnya tumbuh PKL dengan jenis dagangan yang sangat variatif dan persebaran yang sangat bebas. Sehingga sampai sekarangpun belum ada pengelompokan komoditi dari para PKL sendiri.

2.2 Kajian Sosial Ekonomi
 Kegiatan sektor informal khususnya PKL muncul karena adanya suatu kegiatan fungsional/kegiatan utama/kegiatan formal pada suatu ruang kota dalam skala lingkungan, kawasan maupun skala kota atau sebaliknya. Keberadaan kedua fungsi tersebut (kegiatan formal dan informal) merupakan hasil terjadinya hubungan sebab dan akibat yang menempati suatu ruang atau kawasan untuk mendapatkan peluang hidup bagi pelaku kegiatannya.
Awal tumbuhnya para pedagang kaki lima di kampus E gunadarma mungkin saja memiliki alasan yang sama dengan tumbuhnya PKL di lain tempat. Namun mungkin juga mereka mempunyai alasan yang berbeda. Latar belakang itu antara lain karena suatu lokasi dalam keadaaan kosong, entah karena tidak ada yang memiliki atau karena pemiliknya belum akan mendirikan bangunan diatasnya. Bisa juga karena adanya fasilitas yang terbengkalai karena tidak ada yang merawat atau karena suatu fasilitas tidak nyaman untuk dimanfaatkan, sehingga akhirnya muncul di tempat tempat tersebut para PKL yang notabene mereka ‘hanya’ memanfaatkan lahan/fasilitas kosong yang tidak difungsikan tersebut.
Berikut alasan yang menjadi latar belakang seseorang akhirnya memilih menjadi PKL di kampus E gunadarma kelapa dua:
1. Latar Belakang menjadi PKL
Secara garis besar latar belakang yang menyebabkan masyarakat memilih menjadi PKL antara lain adalah :
a. tidak tersedianya lapangan pekerjaan di sector formal , sehingga masyarakat mencoba mengadu nasib dengan menjadi PKL
b. mereka yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja yang menyusul munculnya badai krisis moneter
c. kampus sebagai sebuah magnet bagi berkembangnya usaha PKL
d. terbengkalainya trotoar di belakang kampus karena tidak dimanfaatkan oleh para pejalan kaki
e. adanya peluang yang diberikan pihak kampus dengan tidak dilarangnya kemunculan PKL di belakang kampus
f. para pemilik modal yang berusaha (spekulasi) berinvestasi dengan jalan membuka usaha PKL
2. Status Keberadaan Kios PKL
Secara umum status kios PKL yang menempel dipagar belakang kampus adalah :
a. milik sendiri
yang dimaksud disini , kios dibangun sendiri oleh PKL setelah mereka memperoleh lahan baik melalui cara membeli entah dari siapa maupun dengan cara mengkapling sendiri lahan tersebut. Terdapat kemungkinan PKL tersebut membeli kios (bukan lahan) dari pemilik kios terdahulu.
b. menyewa (kontrak)
adakalanya setelah merasa memiliki lahan dan membangun kios diatasnya, seorang PKL enggan untuk menempati sendiri ataupun adanya kemungkinan spekulasi akan hasil yang diperoleh akan lebih besar ketika kios tersebut disewakan daripada bila ditempati sendiri. Hal ini juga kemungkinan muncul karena adanya kebutuhan sewa/kontrak bagi sebagian PKL yang merasa enggan untuk membangun sendiri kios PKL disitu.
3. Jenis Usaha
Sesuai dengan kondisi kegiatan utama yang ditempelinya, jenis usaha/dagangan yang disajikan oleh para PKL notabene adalah kebutuhan bagi para mahasiswa. Baik dari kebutuhan utama sampai kepada kebutuhan tersier. Adapun jenis usaha/dagangan yang disajikan para PKL mulai dari PKL yang berada paling barat sampai timur adalah warung makan dan minum, toko kelontong/kebutuhan sehari-hari, jasa foto copy, jasa rental, jasa reparasi/tambal ban, jasa menjahit, jasa afdruk/cuci cetak foto, toko sellular dan agen koran dan lain-lain.

2.3 Kajian Fisik
Selain kondisi sosial ekonomi, berikut kondisi fisik dari para PKL di kampus E gunadarma kelapa dua.
1. Sifat Bangunan
Sejalan dengan perkembangan waktu, selain jenis dagangan PKL yang semakin beragam, sifat bangunannyapun semakin mengalami kemajuan. Tidak saja kios PKL bersifat semi permanen namun juga kios permanen dengan kondisi yang tergolong sangat baik. Hampir 41% dari keseluruhan jumlah PKL di deretan ini mempunyai sifat permanen. Bahan bangunan yang dipakai adalah dinding permanen batu bata, atap genteng dan lantai keramik bahkan pintu rolling (rolling door). Sementara bangunan yang bersifat semi permanen berjumlah sekitar 54% dengan bahan bangunan yang dipakai adalah papan atau anyaman bambu untuk dinding, atap asbes dan lantai plester. Dan sisanya sekitar 5% adalah bangunan temporer/rusak, yang saat ini sudah tidak dipergunakan lagi karena pemiliknya merasa tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan disekitarnya.
2. Pola Persebaran
Selain harus menyesuaikan diri dengan posisi PKL sebelumnya, terkadang kemunculan PKL baru sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan alasan untuk memperoleh posisi yang strategis dengan tujuan mudah dicapai oleh pembeli. Lokasi yang dipilih berdasarkan asumsi masing-masing PKL, sehingga pada akhirnya pola sebaran PKLpun tidak teratur. Maksudnya pola sebaran yang ada tidak memiliki aturan-aturan tertentu. Apakah berdasarkan jenis dagangan, urutan kedatangan ataukah aturan-aturan yang lain.
3. Kondisi Utilitas
Kondisi utilitas yang berkaitan langsung dengan PKL adalah
a. Air Bersih, sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan, air menjadi salah satu kebutuhan primer bagi PKL terutama bagi PKL yang menjual makanan dan minuman. Selain untuk kepentingan itu air juga setiap saat dibutuhkan bila dalam keadaan darurat yaitu bila terjadi bahaya kebakaran. Selama ini para PKL memenuhi kebutuhan air bersih dari masjid Nurul Huda. Yang dibutuhkan para PKL adalah kran-kran air bersih dan kran pemadam kebakaran.
b. Sanitasi/Toilet, dibutuhkan karena para PKL melakukan kegiatannya dalam waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih 10 jam bahkan PKL makanan dan minuman hampir selalu berkegiatan 24 jam. Sehingga kegiatan MCK dapat terpenuhi disini. Kebuthan ini dapat dijadikan satu dengan keberadaan air bersih/kran air
c. Saluran Pembuangan, PKL dengan jenis usaha makanan dan minuman sangat membutuhkan jaringan ini. Dengan kegiatan utama memasak, PKL disini belum memiliki saluran pembunagn khusus sehingga sering tercium bau kurang sedap di lingkungan terdekatnya. Yang dibutuhka pada sebgain besar PKL, yaitu yang berjenis usaha makanan dan minuman adalah saluran pembuangan ke roil kota (drainase)
d. Jaringan listrik, meskipun kegiatan PKL tergolong kegiatan yang belum legal, kebutuhan akan penerangan telah dipenuhi dengan dipasangnya jaringan listrik sesuai permintaan masing-masing PKL yang menghendaki.
e. Tempat sampah, meskipun tidak diseragamkan, kebutuhan tempat sampah pada masing-masing PKL telah ada. Namun belum ada penyesuaian antara tempat sampah dan jenis sampah yang ada. Seperti sampah padat yang tidak berbau (sampah non organic) membutuhkan tempat sampah yang ringan dan tertutup. Sedangkan sampah padat berbau (sampah organic) membutuhkan tempat sampah yang aman dan tertutup secara rapat. Dan jenis sampah ketiga adalah sampah cair baik organik maupun non organik dapat dibuang ke saluran pembuangan tertutup.



BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 Objek Penelitian
 Metode penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan penelitian di kawasan pedagang kaki lima yang berada di kampus E gunadarma kelapa dua.

3.2 Data atau Variabel
 Pengolahan data dilakukan dengan mengelompokkan data dan memberikan penjelasan secara diskriptif dan informative dari data-data yang diperoleh tersebut. variable yang ingin diketahui dan dilengkapi dengan sketsa serta dokumentasi.

3.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian diskriptif ini dilakukan dengan jalan menggambarkan kondisi dari para PKL dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, melalui tahap-tahap :
a. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan wawancara untuk mengisi berbagai variable yang ingin diketahui dan dilengkapi dengan sketsa serta dokumentasi
b. Tahap pelaporan merupakan tahap penyusunan laporan yang memakai metode diskriptif kualitatif

3.4 Alat Analisis Yang Digunakan
Alat analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
a. Analisis deskriptif kualitatif.




BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1       Sejarah Perkembangan PKL
            Karena terbatasnya lahan pekerjaan di sector formal, membuat masyarakat menjadikan sector informal sebagai pilihan untuk memperoleh penghasilan. Salah satu lahan di sector informal tersebut adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL). Berkembangnya PKL di belakang kampus UNS berawal  sejak tahun 1990an. Dengan keberadaan trotoar yang diperuntukkan bagi para pengguna jalan khususnya para mahasiswa, ternyata fasilitas tersebut tidak dimanfatkan secara maksimal. Entah karena alasan trotoar yang ada kurang nyaman ataupun alasan yang lain, trotoar yang sudah dibatasi dengan pagar besi pada sisi dalamnya yang berhubugan dengan lahan kampus, akhirnya pelan-pelan dilirik oleh para pelaku untuk mencoba berjualan,meski sudah ada larangan menggunakan trotoar untuk para PKL (Perda PKL, 1995) ).  
            Keberadaan para PKL awalnya hanya sedikit dan hanya  berjualan dimalam hari, dan barang dagangan yang dijual tidak selengkap sekarang. Pada waktu itu barang dagangan yang dijual hanya barang-barang kebutuhan para mahasiswa, sehingga secara tidak langsung antara para mahasiswa dengan PKL memounyai hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
            Lokasi pertama yang paling diminati para PKL adalah lokasi sekitar gerbang/pintu masuk kampus, karena merupakan tempat arus sirkulasi masuk keluar para mahasiswa sehingga selain mudah dijangkau karena selalu dilewati, juga dianggap paling strategis dan bersih dibanding tempat yang lain.  Adapun sarana  yang digunakan oleh para PKL pada awalnya hanya warung tenda. Kalau dibutuhkan , warung dapat dibuka maupun ditutup setiap saat, karena dapat digulung dan dikemas dalam gerobak yang kemudian dititipkan kepada masyaratak terdekat
            Dengan adanya beberapa PKL sebagai embrio deretan PKL di lahan trotoar, dan tidak adanya tindakan kepada mereka, pada tahap selanjutnya mulai bermunculan PKL-PKL baru yang semakin manambah panjang daftar PKL disini. Dengan kondisi dan status yang sama-sama tidak jelas, mereka mulai saling memperebutkan lahan. Mereka merasa dapat  memiliki lahan hanya dengan mematok lahan yang sekiranya belum bertuan. Bahkan hanya dengan bermodalkan  seutas tali raffia mereka dapat merasa memiliki “kapling”.
            Setelah berjalan beberapa tahun, seiring dengan mulai bergulirnya reformasi yang menyusul badai krisis moneter, jumlah PKL semakin bertambah banyak yaitu sekitar tahun 1996 akhir. Kondisi merekapun sudah mulai berkembang. PKL mulai berani mambangun warung semi permanent. Bentuk warungpun bervariasi sesuai dengan kemampuan modal masing-masing PKL. Bahan dinding terbuat dari bambu atau papan sedangkan atap pada umumnya menggunakan bahan seng. Demikian juga dengan luasan warungnya, disesuaikan dengan kebutuhan dan komoditi yang mereka jual. Dengan kondisi seperti itu tidak jarang warung dimanfaatkan sekaligus untuk hunian.
            Dari banyaknya PKL dengan komoditas yang bermacam-macam tidak semuanya berjalan lancar, ada beberapa yang kemudian menutup usahanya karena tidak berjalan seperti yang diharapkan. Parahnya lagi ketika mereka yang sudah tidak dapat meneruskan usahanya mereka tidak mau membongkar kiosnya. Dengan begitu mereka akan tetap merasa memiliki kapling yang setiap saat dapat dipakai atau dipindahtangankan ketika ada yang berminat untuk membeli atau menyewanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan kios menjadi berantai dan bahkan tidak jelas.   
          Saat ini kondisi pedagang kaki lima di belakang kampus ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Secara fisik kondisi mereka sudah berubah kearah yang lebih baik. Sebagian besar dari mereka telah banyak yang memiliki kios yang bersifat permanent, yaitu berdinding bata plester dan beratap genteng. Bahkan banyak diantaranya yang menggunakan pintu rolling atau folding (pintu gulung dan pintu lipat) yang harganya cukup mahal. Jenis usahanyapun sangat beragam. Tidak hanya warung makan ataupun toko kelontong kebutuhan seharai-hari namun juga terdapat usaha rental, bengkel motor maupun mobil, foto copy, took sellular, baju olah raga, buku dan bahkan salon serta toko kaca mata (optic). Berbagai fasilitas seperti listrik dan air PAM juga dapat mereka peroleh.
            Pada tahap selanjutnya perkembangan PKL semakin menjadi-jadi ketika program pemagaran kampus secara menyeluruh dalam desain wujud fisik dinding tembok yang rapat. Dengan telah adanya dinding pagar, PKL semakin berani membangun kiosnya secara permanen. Disamping telah hilang salah satu keengganan (pekewuh) karena dulu sebelum dipagar, kondisi mereka terlihat langsung dari arah kampus.
           Secara keseluruhan pertumbuhan antara satu PKL dengan PKL yang lain mempunyai karakter yang berbeda-beda demikian juga dengan modal dan latar belakangnya. Dari sini akhirnya tumbuh PKL dengan jenis dagangan yang sangat variatif dan persebaran yang sangat bebas. Sehingga sampai sekarangpun belum ada pengelompokan komoditi dari para PKL sendiri.

4.2       Kajian Sosial Ekonomi
            Kegiatan sector informal khususnya PKL muncul karena adanya suatu kegiatan fungsional/kegiatan utama/kegiatan formal pada suatu ruang kota dalam skala lingkungan, kawasan maupun skala kota atau sebaliknya. Keberadaan kedua fungsi tersebut (kegiatan formal dan informal) merupakan hasil terjadinya hubungan sebab dan akibat yang menempati suatu ruang atau kawasan untuk mendapatkan peluang hidup bagi pelaku kegiatannya.
            Awal tumbuhnya para pedagang kaki lima di belakang kampus UNS mungkin saja memiliki alasan yang sama dengan tumbuhnya PKL di lain tempat. Namun mungkin juga  mereka mempunyai alasan yang berbeda. Latar belakang itu antara lain karena suatu lokasi dalam keadaaan kosong, entah karena tidak ada yang memiliki atau karena pemiliknya belum akan mendirikan bangunan diatasnya. Bisa juga karena adanya fasilitas yang terbengkalai karena tidak ada yang merawat atau  karena suatu fasilitas tidak nyaman untuk dimanfaatkan, sehingga akhirnya muncul di tempat-tempat tersebut para PKL yang notabene mereka ‘hanya’ memanfaatkan lahan/fasilitas  kosong yang tidak difungsikan tersebut.       
         Berikut alasan yang menjadi latar belakang seseorang akhirnya memilih menjadi PKL di belakang kampus UNS. 
1.                  Latar Belakang menjadi PKL
            Secara garis besar latar belakang yang menyebabkan masyarakat memilih menjadi PKL antara lain adalah :
a.         tidak tersedianya lapangan pekerjaan di sector formal , sehingga masyarakat mencoba mengadu nasib dengan menjadi PKL
b.         mereka yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja yang menyusul munculnya badai krisis moneter
c.         kampus sebagai sebuah magnet bagi berkembangnya usaha PKL
d.        terbengkalainya  trotoar di belakang kampus karena tidak dimanfaatkan oleh para pejalan kaki
e.         adanya peluang yang diberikan pihak kampus dengan tidak dilarangnya kemunculan PKL di belakang kampus
f.          para pemilik modal yang berusaha (spekulasi) berinvestasi dengan jalan membuka usaha PKL
2.                  Status Keberadaan Kios PKL
            Secara umum status kios PKL yang menempel dipagar belakang kampus adalah :
a.         milik sendiri
     yang dimaksud disini , kios dibangun sendiri oleh PKL setelah mereka memperoleh lahan baik melalui cara membeli entah dari siapa maupun dengan cara mengkapling sendiri lahan tersebut. Terdapat kemungkinan PKL tersebut membeli kios (bukan lahan) dari pemilik kios terdahulu.
b.        menyewa (kontrak)
     adakalanya setelah merasa memiliki lahan dan membangun kios diatasnya, seorang PKL enggan untuk menempati sendiri ataupun adanya kemungkinan spekulasi akan hasil yang diperoleh akan lebih besar ketika kios tersebut disewakan daripada bila ditempati sendiri. Hal ini juga kemungkinan muncul karena adanya kebutuhan sewa/kontrak bagi sebagian PKL yang merasa enggan untuk membangun sendiri kios PKL disitu.
3.                  Jenis Usaha
            Sesuai dengan kondisi kegiatan utama yang ditempelinya, jenis usaha/dagangan yang disajikan oleh para PKL notabene adalah kebutuhan bagi para mahasiswa. Baik dari kebutuhan utama sampai kepada kebutuhan tersier. Adapun jenis usaha/dagangan yang disajikan para PKL mulai dari PKL yang berada paling barat sampai timur adalah warung makan dan minum, toko kelontong/kebutuhan sehari-hari, jasa foto copy, jasa rental, jasa reparasi/tambal ban, jasa menjahit, jasa afdruk/cuci cetak foto, toko sellular dan agen koran dan lain-lain.

4.3         Kajian Fisik     
Selain kondisi social ekonomi, berikut kondisi fisik dari para PKL  di pagar belakang kampus.                                                                                                                            
1.    Posisi PKL
     Secara keseluruhan PKL menempati lahan trotoar /pedestrian belakang kampus.  Oleh para PKL, trotoar dianggap tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan kondisi trotoar yang memang tidak layak bagi pejalan kaki. Yaitu tidak adanya prasarana pendukung pedestrian seperti pohon peneduh, lampu penerangan dan batas pembeda dengan jalan raya. Dengan mengambil posisi yang strategis yaitu dimulai dengan yang dekat pintu utama masuk kampus, para PKL menempatkan diri menyesuaikan posisinya dengan kios PKL yang ada sebelumnya. (lihat gambar PKL).
2.    Sifat Bangunan
     Sejalan dengan perkembangan waktu, selain jenis dagangan PKL yang semakin beragam, sifat bangunannyapun semakin mengalami kemajuan. Tidak saja kios PKL bersifat semi permanen namun juga kios permanen dengan kondisi yang tergolong sangat baik. Hampir 41% dari keseluruhan jumlah PKL di deretan ini mempunyai sifat permanen. Bahan bangunan yang dipakai adalah dinding permanen batu bata, atap genteng dan lantai keramik bahkan pintu rolling (rolling door). Sementara bangunan yang bersifat semi permanen berjumlah sekitar 54% dengan bahan bangunan yang dipakai adalah papan atau anyaman bambu untuk dinding, atap asbes dan lantai plester. Dan sisanya sekitar 5% adalah bangunan temporer/rusak, yang saat ini sudah tidak dipergunakan lagi karena pemiliknya merasa tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan disekitarnya.
3.    Pola Persebaran
Selain harus menyesuaikan diri dengan posisi PKL sebelumnya, terkadang kemunculan PKL baru sesuai dengan keinginannya sendiri. Dengan alasan untuk memperoleh posisi yang strategis dengan tujuan mudah dicapai oleh pembeli. Lokasi yang dipilih berdasarkan asumsi masing-masing PKL, sehingga pada akhirnya pola sebaran PKLpun tidak teratur. Maksudnya pola sebaran yang ada tidak memiliki aturan-aturan tertentu. Apakah berdasarkan jenis dagangan, urutan kedatangan ataukah aturan-aturan yang lain.
Jika diamati secara teliti kondisi PKL di sebellah timur gerbang semakin ke timur semakin tidak jelas jenis usahanya. Hanya sedikit yang tetap bertahan dengan jenis usahanya semula.
4.    Luasan PKL
Lebar masing-masing PKL hampir seragam yaitu sekitar 3 m sesuai dengan lebar trotoar yang ada. Sedangkan panjangnya bervariasi sesuai dengan besaran yang diinginkan pemilik awal serta sesuai kebutuhan jenis dagangan. Panjang yang sekarang ada berkisar antara 3 m sampai dengan 9 m.
5.    Kondisi Utilitas
Kondisi utilitas yang berkaitan langsung dengan PKL adalah
a.    Air Bersih, sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan, air menjadi salah satu kebutuhan primer bagi PKL terutama bagi PKL yang menjual makanan dan minuman. Selain untuk kepentingan itu air juga setiap saat dibutuhkan bila dalam keadaan darurat yaitu bila terjadi bahaya kebakaran. Selama ini para PKL memenuhi kebutuhan air bersih dari masjid Nurul Huda. Yang dibutuhkan para PKL adalah kran-kran air bersih dan  kran pemadam kebakaran.
b.    Sanitasi/Toilet, dibutuhkan karena para PKL melakukan kegiatannya dalam waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih 10 jam bahkan PKL makanan dan minuman hamper selalu berkegiatan 24 jam. Sehingga kegiatan MCK dapat terpenuhi disini. Kebuthan ini dapat dijadikan satu dengan keberadaan air bersih/kran air
c.    Saluran Pembuangan, PKL dengan jenis usaha makanan dan minuman sangat membutuhkan jaringan ini. Dengan kegiatan utama memasak, PKL disini belum memiliki saluran pembunagn khusus sehingga sering tercium bau kurang sedap di lingkungan terdekatnya. Yang dibutuhka pada sebgain besar PKL, yaitu yang berjenis usaha makanan dan minuman adalah saluran pembuangan ke roil kota (drainase)
d.   Jaringan listrik, meskipun kegiatan PKL tergolong kegiatan yang belum legal, kebutuhan akan penerangan telah dipenuhi dengan dipasangnya jaringan listrik sesuai permintaan masing-masing PKL yang menghendaki.
e.    Tempat sampah, meskipun tidak diseragamkan, kebutuhan tempat sampah pada masing-masing PKL telah ada. Namun belum ada penyesuaian antara tempat sampah dan jenis sampah yang ada. Seperti sampah padat yang tidak berbau (sampah non organic) membutuhkan tempat sampah yang ringan dan tertutup. Sedangkan sampah padat berbau (sampah organic) membutuhkan tempat sampah yang aman dan tertutup secara rapat. Dan jenis sampah ketiga adalah sampah cair baik organic maupun non organic dapat dibuang ke saluran pembuangan tertutup.



BAB V
KESIMPULAN


            Kondisi deretan PKL belakang kampus saat ini sudah menyerupai kawasan perdagangan retail. Meski telah memberi pengaruh dan masalah pada tata ruang yang cukup dominan, namun dengan terbentuknya simbiosis mutulisme antara PKL dengan mahasiswa dan juga pemilik lahan, perlu ada kesepakatan dalam hal-hal sebagai berikut :
a.       kejelasan status tanah baik bagi PKL dan Pemda
b.      perlu adanya regulasi yang mengatur antara hak dan kewajiban antara pihak yang terkait
c.       perlu diberikan prasarana pendukung kegiatan PKL seperti kelengkapan jaringan utilitas
d.      perlu disepakatinya desain  Bangunan PKL secara seragam agar tidak mengganggu kepentingan masing-masing pihak serta usaha pengendaliannya
   
Adapun strategi pembangunan sector informal dititikberatkan pada (Tim Swakelola,1992) :
·           Bina Usaha Manusia , memberikan latihan ketrampilan berusaha dan memberikan penyuluhan/penataran tentang kewiraswastaan dan kebijaksanaan pemerintah yang berlaku
·    Bina Sarana dan Prasarana, dengan menyediakan lokasi-lokasi penampungan yang permanen, meningkatkan penyediaan sarana dan prasarasana, memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses perijinan
·           Bina Permodalan, dengan meningkatkan kemampuan manajemen dan administrasi dan meningkatkan kemampuan permodalan dengan menyediakan berbagai macam fasilitas kredit
·    Bina Produksi, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, meningkatkan penggunaan teknologi tepat guna dan ilmu pengetahuan baru
·    Bina Pemasaran, dengan  memberikan pengetahuan tentang managemen pemasaran, memperluas kesempatan berpromosi dan pemasaran, memberikan informasi pasar
·           Bina Organisasi, dengan mengupayakan terbentuknya organisasi yang mampu mewadahi kegiatan/usaha seperti koperasi, paguyuban dan sebagainya.
·           Bina Lingkungan, dengan melaksanakan program berseri, membina lingkungan kerja, memberikan rasa aman, tenang dan tenteram dalam berusaha





DAFTAR PUSTAKA


-            Tim Swakelola, 1992, Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Penunjang Kegiatan Sektor Informal, Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah

-          Nurhidayati,A, 2003, Karakeristik PKL Utara Kampus UNS, Jurusan Arsitektur

-          Rahbini, D, 1998, Ekonomi Informal Perkotaan, LP3ES, Jakarta.

-          ….............................., Warta Ekonomi, Maret 2003,

-          Hartati Samhadi, Dilema Sektor Informal, Kompas, Jakarta 15 April 2006

-          Perda Kota Surakarta No. 8 tentang PKL 1995 

Minggu, 03 Oktober 2010

Tugas Riset Pemasaran

Abhina Sakti D, 10207007,4EA03.

Review Jurnal
Tema / Topik : Pemasaran
Judul, Pengarang, Tahun :
Model Perilaku Konsumen dalam Perspektif Teori dan Empiris pada Jasa Pariwisata, Sudarmiatin, 2009.

1. Latar Belakang dan Masalah
 Konsumen adalah orang atau organisasi yang membeli barang atau jasa untuk dikonsumsi atau dijual kembali atau diolah menjadi barang lain lebih lanjut. Dengan demikian yang disebut konsumen tidak hanya meliputi konsumen akhir, tetapi juga konsumen antara dan konsumen industri. Untuk mencapai tujuannya setiap perusahaan baik dagang, jasa maupun industri sudah tentu memerlukan kehadiran konsumen. Bahkan untuk mencapai tujuan tersebut, para pelaku bisnis rela mengeluarkan biaya besar untuk menarik perhatian konsumen seperti melakukan promosi dan riset konsumen dalam rangka menyusun strategi pemasaran yang tepat.
Perilaku konsumen dalam membeli jasa (termasuk di dalamnya jasa pariwisata) sedikit berbeda dengan perilaku konsumen dalam membeli produk barang. Bila dibandingkan dengan produk barang, maka penilaian konsumen terhadap jasa cenderung lebih subjektif. Sebab karakteristik jasa bersifat abstrak, tidak bisa dilihat secara kasad mata dan tidak ada tenggang waktu antara masa produksi dan masa konsumsi. Pada saat jasa itu diproduksi maka pada saat yang sama jasa tersebut dikonsumsi.
Beberapa model perilaku konsumen yang dikemukakan oleh para penulis lebih banyak berorientasi pada produk barang. Dengan demikian untuk mempelajari perilaku konsumen pada perusahaan jasa seyogyanya mempertimbangkan pula hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Perusahaan dengan segmen konsumen yang berbeda, maka berbeda pula strategi pemasaran yang digunakan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kotler (1997) bahwa segmentasi konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan demografi, psykhografis, geografis dan perilaku. Segmentasi demografi membagi konsumen berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, pendapatan, agama dan kebangsaan.
Faktor demografi ini merupakan dasar yang paling populer dalam mengklasifikasi konsumen. Salah satu alasannya adalah bahwa kebutuhan dan keinginan konsumen biasanya berhubungan erat dengan variabel-variabel demografi. Segmentasi geografi membagi konsumen berdasarkan kelas sosial, gaya hidup dan karakteristik kepribadian. Segmentasi geografis membagi konsumen berdasarkan pemukiman, kota, kabupaten, propinsi dan negara. Sedangkan segmentasi perilaku membagi konsumen berdasarkan pengetahuan, sikap dan tanggapan terhadap suatu produk. Banyak orang percaya bahwa variabel perilaku merupakan gagasan awal yang paling baik untuk membangun segmen pasar. Pengetahuan tentang segmentasi pasar ini sangat membantu pemasar dalam menyusun strategi pemasaran yang digunakan.

2. Metodelogi
 Variabel : Perilaku.
 Data : Primer.
Model :
- Model Perilaku Konsumen dari Assael (1992).
- Model Perilaku Konsumen menurut Hawkins (1998).
- Model Perilaku Konsumen menurut Kotler (1997).
- Model Perilaku Konsumen menurut Engel, Blackward dan Miniard (1995).
Tahapan : Study Pustaka.

3. Hasil dan Kesimpulan
 Konsumen adalah orang atau organisasi yang membeli barang atau jasa untuk dikonsumsi atau dijual kembali atau diolah menjadi barang lain lebih lanjut. Dengan demikian yang disebut konsumen tidak hanya meliputi konsumen akhir, tetapi juga konsumen antara dan konsumen industri. Dari berbagai definisi perilaku konsumen dapat disimpulkan bahwa (1) Perilaku konsumen menyoroti perilaku baik individu maupun rumah tangga. (2) Inti dari perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan pembelian barang atau jasa (3) Tujuan mempelajari perilaku konsumen adalah untuk menyusun strategi pemasaran yang berhasil.
Pemasar perlu memahami perilaku konsumen agar dapat menyusun strategi pemasaran yang berhasil. Selain pemasar, maka lembaga pendidikan, lembaga sosial dan pemerintah juga perlu mengetahui perilaku konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) adalah salah satu lembaga sosial yang kegiatan utamanya mendidik dan melindungi konsumen dari praktik-praktik bisnis yang merugikan konsumen. YLKI bermaksud untuk membantu konsumen dalam memilih produk baik berbentuk barang atau jasa dengan benar, terhindar dari penipuan serta menjadi konsumen yang bijaksana.
Telah dikenal banyak teori perilaku konsumen mulai dari Assael (1992), Hawkins (1998), Kotler (1997) dan Engel (1995). Semuanya menunjukkan bahwa variabel prediktor memiliki pengaruh langsung terhadap perilaku pembelian. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel prediktor pada model perilaku konsumen tersebut bisa berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilku pembelian melalui image konsumen.

4. Saran Untuk Lanjutan
 Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa sebuah model perilaku konsumen tidak bisa diterapkan untuk seluruh segmen konsumen, sebab setiap segmen memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda.


Sumber :
fe.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/sudarmiatin_1.pdf.


Tiga Jurnal :
- Model Perilaku Konsumen dalam Perspektif Teori dan Empiris pada Jasa Pariwisata, Sudarmiatin, 2009.
- Jurnal Manajemen Pemasaran Modern Vol. 1, Widiyanto, 2009.
- Analisis Kepuasan Debitur Kredit Retail Berdasarkan Bauran Pemasaran Pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.